Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar (kedua kiri) didampingi Wakil Bupati Batang Soetadi (kiri) berdialog dengan seorang pedagang
pasar di Desa Kemiri Barat, Batang,
Jawa
Tengah, Selasa (15/3) lalu. Kunjungan itu untuk meninjau penggunaan dana desa di Desa Kemiri Barat, sekaligus menghadiri Pameran Festival Anggaran 2016
[JAKARTA] Sentralisasi perekrutan tenaga pendamping desa dicurigai berpotensi membuka pintu ma- suknya
kepentingan partai politik (parpol). Kecurigaan itu cukup beralasan, meng-
ingat tenaga pendamping ters ebut
kelak menjadi fasilitator
masyarakat desa dalam rangka penggunaan dana desa yang dikucurkan APBN.
Nilai dana untuk sekitar
81.000 desa terus ditingkat- kan. Tahun lalu, nilainya Rp 20,8 triliun, tahun ini meningkat lebih
dua kali li- pat menjadi Rp 47,9 triliun. Pada 2019 mendatang, nilainya
melonjak menjadi Rp 111,8 triliun. Dengan demikian, satu desa bakal menerima
lebih dari Rp 1 miliar.
Selain itu, secara poli- tik, posisi desa selama ini
dianggap sebagai kantung suara yang potensial untuk mendulang dukungan saat pemilu maupun
pilkada. Oleh karenanya, kebijakan yang menyangkut dana be- sar dan langsung
bersinggu- ngan dengan masyarakat banyak, terutama kalangan akar rumput, kerap
menjadi incaran partai.
Oleh karenanya, Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Tansmigrasi, diminta menghentikan sentralisasi
rekrutmen tenaga pendamp- ing desa. Proses itu sebai- knya dilimpahkan ke kabu-
paten dan kota yang paling mengetahui kondisi desa di wilayahnya, sehingga
tena- ga yang direkrut memiliki pem aha ma n
ya ng ut uh mengenai desa yang
akan didampinginya.
Demikian disampaikan Ketua Program Studi Ilmu
Pemerintahan Sekolah T inggi Pembangunan Masyarakat Desa APMD
Yogyakarta, Gregorius Sahdan, dan
Direktur Eksekutif Komite
Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng, secara terpi-
sah, Selasa (5/4).
Gregorius menilai, ren- cana
Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi merekrut sekitar 18.000 tenaga pen- damping
desa pada tahun ini, patut dicurigai. Pemerintah, menurutnya, seha- rusnya
memikirkan ulang nasib tenaga pendamping yang direkrut pada 2015.
“Sampai dengan saat ini, tenaga pendamping de- sa yang sudah
direkrut pe- merintah, nasibnya terka- tung-katung seperti yang terjadi di Jawa
Timur dan Sumba Tengah. Di Jawa Timur, bahkan mereka tidak kunjung
menerima gaji, karena beberapa di antaran ya
dianggap tidak me menuhi persyaratan admin- istratif,” ujar
Gregorius.
Sebetulnya, kata dia, banyak masyarakat desa yang merasa
tidak puas dengan model rekrutmen tenaga pendamping desa yang dilakukan
pemerintah pusat. Pasalnya, langkah itu disinyalir penuh dengan muatan politik.
Ini cukup be- ralasan mengingat desa mer- upakan kantong suara dalam pemilu.
Apalagi, menteri de- sa berlatar belakang politisi Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB).
“Ada anggapan umum
bahwa merebut desa identik dengan merebut suara. Karena itu, tidak heran jika
Kementerian Desa dipere- butkan oleh beberapa partai politik agar bisa
mendulang suara dalam Pemilu 2019,” ungkapnya.
Dia mengungkapkan, bentuk-bentuk politisasi ke- bijakan
populis semacam ini sudah biasa di Indonesia. Di masa yang lalu, banyak kader
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang didu
ga menjadi tenaga penyuluh pertanian. Menurutnya, cara-cara
seperti ini memi- liki implikasi yang sangat besar terhadap program pe-
merintah, terutama terkait dengan desa.
“Pertama,
akan sulit un- tuk mewujudkan desa yang mandiri dan sejahtera, kare- na kehadiran
tenaga pen- damping desa akan menjadi beban bagi desa. Tenaga pendamping desa,
bisa jadi tidak mempunyai niat yang tulus untuk meningkatkan kemampuan desa
dalam mengelola desa, tetapi
malah akan bekerja ber- dasarkan kepentingan par- tai,” tandas dia.
Kedua, lanjutnya sen- tralisasi rekrutmen tenaga pendamping
desa di Kementerian Desa, dicuri- gai penuh dengan intrik politik dan
mengabaikan aspek merit system. Model ini hanya akan menjaring tenaga
administratif yang justru nantinya tidak akan menggerakkan perubahan di desa.
“Ketiga, rekrutmen tenaga pendamping
desa yang dilakukan Kementerian Desa, tidak
berdasarkan evaluasi dan penilaian
kritis terhadap kondisi desa.
Pengetahuan yang minim tentang desa, melahirkan rekrutmen asal-asalan,” tuturnya.
Dengan cara seperti ini, sebenarnya Kementerian Desa
diragukan memiliki niat yang tulus dalam mem- bangun desa. Bisa jadi tena- ga
pendamping ini akan menimbulkan beban baru bagi desa dan akan sulit melihat
perkembangan desa lebih maju, sejahtera, dan mandiri.
“Keempat, Kementerian Desa sepertinya terjebak pada logika
administrasi. Jebakan administrasi ini menyebabkan munculnya tenaga pendamping
desa yang asal memenuhi aspek administrasi, tetapi tidak memiliki kapasitas
untuk memperkuat kapasitas mas- yarakat dan pemerintahan desa. Jika ini yang
terjadi, maka dana desa yang san gat besar hanya akan diha- biskan dengan cara
admin- istratif,” terang dia.
Gregorius berharap, Kementerian Desa men- gambil kebijakan
yang ber- basis pada kepentingan de- sa, bukan kepentingan par- tai politik.
Menurutnya, sentralisasi rekrutmen tena- ga pendamping desa juga sebaiknya dihentikan. Serahkan kepada
kabupat- en/kota yang lebih menge- tahui kondisi desa.
“Pemerintah pusat han- ya perlu membuat standar kebijakan
yang bisa diopra- sionalkan pemerintah kabu- paten/kota dan melakukan
monitoring yang tersiste- matis, agar penyimpangan di lapangan bisa dihindari
sejak dini,” pungkas Gregorius.
Pahami Kondisi Dsa
Senada dengan itu, Robert Endi Jaweng men dorong rekrutmen
tenaga pendamping desa dilakukan secara terbuka dan konsis ten. Endi berharap
rekrut men tidak dipolitisasi dan sesua i
dengan skem a Satuan Kerja
Pemerintah Daerah (SKPD) di provinsi yang mengurus desa.
“Ada tiga level tenaga pendamping desa, yakni tenaga ahli di
kabupaten, pendamping desa di keca- matan dan pendamping lokal desa (PLD) .
Skema rekrut- men harus melalui SKPD di provinsi yang mengurus de- sa. Provinsi
yang merekrut dari tenaga ahli sampai PLD, dalam rangka dekonsentrasi. Itu
formal-proseduralnya,” ujar Endi di Jakarta, Selasa (5/4).
Namun, rekrutmen tena- ga pendamping desa, kata Endi kadang
diboncengi kepentingan tertentu baik yang berasal dari parpol maupun kelompok
tertentu. Tak heran jika publik me- nilai ada kepentingan politik Menteri
Desa Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi (Menteri Desa).
“Bisa saja yang jadi tenaga pendamping desa berasal dari
kader partai, je- jaring atau ormas yang pun ya afiliasi ke parpol. kita kan
tahu siapa yang menjadi tenaga ahli, pendamping desa atau PLD,” ungkap dia.
Karena itu, Endi ber harap Kementerian Desa menyerahkan rekutmen pendamping desa ke
provinsi, sehingga mereka bisa memilih sesuai den gan kebutuhan masyarakat lokal desa. Sementara Kementerian Desa, kata dia fokus
pada pengawasan dan evaluasi
kinerja tenaga pendamping desa tersebut.
“Kementerian Desa ju- ga harus mendesain sede- mikian rupa
ada tenaga de- sa organik, sehingga desa kemudian tidak bergantung terus pada
tenaga pendamp- ing luar dari luar,” katanya. [YUS/A-17]