Monday, April 11, 2016

Menteri  Desa,  Pembangunan Daerah  Tertinggal, dan  Transmigrasi Marwan Jafar (kedua  kiri) didampingi Wakil  Bupati Batang Soetadi (kiri) berdialog dengan seorang pedagang pasar di Desa Kemiri Barat, Batang, Jawa Tengah, Selasa  (15/3) lalu. Kunjungan itu  untuk meninjau penggunaan dana desa di Desa Kemiri Barat, sekaligus menghadiri Pameran FestivaAnggaran 2016

[JAKARTA] Sentralisasi perekrutan  tenaga pendamping desa dicurigai berpotensi membuka pintu ma- suknya kepentingan partai politik (parpol). Kecurigaan itu cukup beralasan, meng- ingat tenaga pendamping ters ebut  kelak  menjadi fasilitator masyarakat desa dalam rangka penggunaan dana desa yang dikucurkan APBN.

Nilai dana untuk sekitar 81.000 desa terus ditingkat- kan. Tahun lalu, nilainya Rp 20,8 triliun, tahun ini meningkat lebih dua kali li- pat menjadi Rp 47,9 triliun. Pada 2019 mendatang, nilainya melonjak menjadi Rp 111,8 triliun. Dengan demikian, satu desa bakal menerima lebih dari Rp 1 miliar.
Selain itu, secara poli- tik, posisi desa selama ini dianggap sebagai kantung suara yang potensial untuk mendulang dukungan saat pemilu maupun pilkada. Oleh karenanya, kebijakan yang menyangkut dana be- sar dan langsung bersinggu- ngan dengan masyarakat banyak, terutama kalangan akar rumput, kerap menjadi incaran partai.

Oleh karenanya, Kementerian  Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Tansmigrasi, diminta menghentikan sentralisasi rekrutmen tenaga pendamp- ing desa. Proses itu sebai- knya dilimpahkan ke kabu- paten dan kota yang paling mengetahui kondisi desa di wilayahnya, sehingga tena- ga yang direkrut memiliki pem aha ma n  ya ng  ut uh mengenai desa yang akan didampinginya.
Demikian disampaikan Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan   Sekolah T inggi   Pembangunan Masyarakat Desa APMD Yogyakarta,  Gregorius Sahdan, dan   Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng, secara terpi- sah, Selasa (5/4).

Gregorius menilai, ren- cana  Kementerian  Desa, Pembangunan   Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi  merekrut sekitar 18.000 tenaga pen- damping desa pada tahun ini, patut dicurigai. Pemerintah, menurutnya, seha- rusnya memikirkan ulang nasib tenaga pendamping yang direkrut pada 2015.

“Sampai dengan saat ini, tenaga pendamping de- sa yang sudah direkrut pe- merintah, nasibnya terka- tung-katung seperti yang terjadi di Jawa Timur dan Sumba Tengah.  Di  Jawa Timur, bahkan mereka tidak kunjung menerima gaji, karena beberapa di antaran ya  dianggap  tidak  me menuhi persyaratan admin- istratif,” ujar Gregorius.

Sebetulnya, kata dia, banyak masyarakat desa yang merasa tidak puas dengan model rekrutmen tenaga pendamping desa yang dilakukan pemerintah pusat. Pasalnya, langkah itu disinyalir penuh dengan muatan politik. Ini cukup be- ralasan mengingat desa mer- upakan kantong suara dalam pemilu. Apalagi, menteri de- sa berlatar belakang politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

 “Ada anggapan umum bahwa merebut desa identik dengan merebut suara. Karena itu, tidak heran jika Kementerian Desa dipere- butkan oleh beberapa partai politik agar bisa mendulang suara dalam Pemilu 2019,” ungkapnya.

Dia mengungkapkan, bentuk-bentuk politisasi ke- bijakan populis semacam ini sudah biasa di Indonesia. Di masa yang lalu, banyak kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang didu ga menjadi tenaga penyuluh pertanian. Menurutnya, cara-cara seperti ini memi- liki implikasi yang sangat besar terhadap program pe- merintah, terutama terkait dengan desa.

“Pertama, akan sulit un- tuk mewujudkan desa yang mandiri dan sejahtera, kare- na kehadiran tenaga pen- damping desa akan menjadi beban bagi desa. Tenaga pendamping desa, bisa jadi tidak mempunyai niat yang tulus untuk meningkatkan kemampuan  desa  dalam mengelola  desa, tetapi malah akan bekerja ber- dasarkan kepentingan par- tai,” tandas dia.

Kedua, lanjutnya sen- tralisasi rekrutmen tenaga pendamping desa di Kementerian Desa, dicuri- gai penuh dengan intrik politik dan mengabaikan aspek merit system. Model ini hanya akan menjaring tenaga administratif yang justru nantinya tidak akan menggerakkan perubahan di desa. “Ketiga, rekrutmen tenaga  pendamping  desa yang dilakukan Kementerian Desa, tidak berdasarkan evaluasi dan penilaian  kritis  terhadap kondisi desa. Pengetahuan yang minim tentang desa, melahirkan   rekrutmen asal-asalan,” tuturnya.

Dengan cara seperti ini, sebenarnya Kementerian Desa diragukan memiliki niat yang tulus dalam mem- bangun desa. Bisa jadi tena- ga pendamping ini akan menimbulkan beban baru bagi desa dan akan sulit melihat perkembangan desa lebih maju, sejahtera, dan mandiri.

“Keempat, Kementerian Desa sepertinya terjebak pada logika administrasi. Jebakan administrasi ini menyebabkan munculnya tenaga pendamping desa yang asal memenuhi aspek administrasi, tetapi tidak memiliki kapasitas untuk memperkuat kapasitas mas- yarakat dan pemerintahan desa. Jika ini yang terjadi, maka dana desa yang san gat besar hanya akan diha- biskan dengan cara admin- istratif,” terang dia.

Gregorius berharap, Kementerian Desa men- gambil kebijakan yang ber- basis pada kepentingan de- sa, bukan kepentingan par- tai politik. Menurutnya, sentralisasi rekrutmen tena- ga pendamping desa juga sebaiknya dihentikan. Serahkan kepada kabupat- en/kota yang lebih menge- tahui kondisi desa.
“Pemerintah pusat han- ya perlu membuat standar kebijakan yang bisa diopra- sionalkan pemerintah kabu- paten/kota dan melakukan monitoring yang tersiste- matis, agar penyimpangan di lapangan bisa dihindari sejak dini,” pungkas Gregorius.

Pahami Kondisi Dsa
Senada  dengan  itu, Robert Endi Jaweng men dorong rekrutmen tenaga pendamping desa dilakukan secara terbuka dan konsis ten. Endi berharap rekrut men tidak dipolitisasi dan sesua i   dengan   skem a Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) di provinsi yang mengurus desa.

“Ada tiga level tenaga pendamping desa, yakni tenaga ahli di kabupaten, pendamping desa di keca- matan dan pendamping lokal desa (PLD) . Skema rekrut- men harus melalui SKPD di provinsi yang mengurus de- sa. Provinsi yang merekrut dari tenaga ahli sampai PLD, dalam rangka dekonsentrasi. Itu formal-proseduralnya,” ujar Endi di Jakarta, Selasa (5/4).

Namun, rekrutmen tena- ga pendamping desa, kata Endi kadang diboncengi kepentingan tertentu baik yang berasal dari parpol maupun kelompok tertentu. Tak heran jika publik me- nilai ada kepentingan politik  Menteri  Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Menteri Desa).

“Bisa saja yang jadi tenaga pendamping desa berasal dari kader partai, je- jaring atau ormas yang pun ya afiliasi ke parpol. kita kan tahu siapa yang menjadi tenaga ahli, pendamping desa atau PLD,” ungkap dia.

Karena itu, Endi ber harap Kementerian  Desa menyerahkan rekutmen pendamping desa ke provinsi, sehingga mereka bisa memilih sesuai den gan kebutuhan masyarakat lokal desa. Sementara Kementerian Desa, kata dia  fokus  pada  pengawasan dan evaluasi kinerja tenaga pendamping desa tersebut.

“Kementerian Desa ju- ga harus mendesain sede- mikian rupa ada tenaga de- sa organik, sehingga desa kemudian tidak bergantung terus pada tenaga pendamp- ing luar dari luar,” katanya. [YUS/A-17]

Author:

Terima kasih telah berkunjung ke blog ini jika kalian suka silahkan share. Artikel saya yang berjudul Hentikan Sentralisasi Rekrutmen Pendamping Desa. Jika anda ingin sebarluaskan artikel ini, atau meletakan artikel ini sebagai tulisan anda mohon sertakan sumber link asli.

Bagaimana Tanggapan Anda
Comments
0 Comments

0 Comments

Silahkan isi Komentar Anda disini