Monday, April 11, 2016



Selain anggaran besar yang berpeluang untuk dikorupsi, perekrutan tenaga pendamping dana desa juga harus diwaspadai karena sangat rawan dipolitisasi. Niat baik pemerintah untuk mengucurkan dana desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat jangan sampai dikotori oleh kepentingan-kepentingan politik.

Pemerintah jangan sampai mengulang kesalahan masa lalu ketika tenaga-tenaga penyuluh pertanian direkrut dari kader-kader partai tertentu. Dengan cara seperti itu, tujuan untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat kelas bawah tidak bisa terwujud dan akhirnya hanya menguntungkan kelompok atau partai politik, terutama partai yang kadernya menjadi menteri terkait.

Sejak 2015, pemerintah telah mengucurkan dana desa dari Anggaran Pendapa- tan dan Belanja Negara (APBN) yang dikucurkan untuk sekitar 81.000 desa. Dana yang dikucurkan terus meningkat. Anggaran yang dialokasikan untuk dana desa pada 2015 sekitar Rp 20,8 triliun dan meningkat pada 2016 menjadi Rp 47,9 triliun.

Bahkan, direncanakan pada 2017 nanti anggarannya ditambah menjadi Rp 81,2 triliun, pada 2018 menjadi Rp 103,8 triliun, dan pada 2019 menjadi Rp 111,8 triliun. Dengan demikian, mulai 2017, setiap desa rata-rata menerima kucuran dana desa lebih dari Rp 1 miliar dari APBN.

Alasan utama pemerintah mengeluarkan program dana desa adalah untuk memberdayakan desa dan masyarakatnya agar lebih maju dan mandiri. Hal ini sejalan dengan program Nawacita Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni membangun dari pinggiran.

Polanya, dana disalurkan ke setiap desa dan dikelola oleh masyarakat setempat untuk digunakan membiayai pembangunan sesuai kebutuhan rakyat setempat. Artinya, setiap desa memiliki program-program yang berbeda dalam menghabiskan daerah persawahan, namun ada juga desa yang lebih memerlukan pembangunan sarana jalan yang lebih baik.

Oleh karena itu, strategi utama atau kunci sukses pengelolaan dana desa terletak pada tenaga pendampingan. Mereka memiliki peran yang sangat penting untuk membantu masyarakat desa dalam mengelola dana yang telah diberikan pemerintah pusat.

Sebelum ada program dana desa, yang merupakan amanat dari Undang-Undang (UU) Nomor 6/2014 tentang Desa, ada program yang mirip, yakni Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program ini dianggap cukup sukses, karena peran para tenaga pendamping.

Dengan melihat besarnya anggaran untuk dana desa, yang setiap tahun ditambah, muncul kekhawatiran publik bahwa anggaran itu rawan dikorupsi atau diselewengkan untuk kepentingan politik. Apalagi, terkait perekrutan tenaga pendaping, telah muncul isu politisasi dana desa tersebut.

Pada Oktober tahun lalu, muncul berita tentang upaya politisasi dana desa itu oleh oknum kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Sukabumi, Jawa Barat. Calon pendamping dana desa diminta untuk menandatangani surat komitmen bahwa dia bersedia menjadi kader PKB dan bersedia menjalankan atau membantu dalam membesarkan partai.

Tidak hanya itu. Calon tenaga pendamping desa itu juga diminta untuk bersedia memberikan “komitmen” sebesar 10% dari nilai gaji yang dihasilkan sebagai pendamping kecamatan setiap bulan selama menjadi pendamping. Jika nantinya ternyata pernyataan itu dilanggar, tenaga pendamping itu bersedia diberhentikan dan dikenakan sanksi.

Jajaran DPP PKB telah menegaskan bahwa apa yang terjadi di Sukabumi itu merupakan ulah oknum dengan memanfaatkan posisi Menteri Desa dan Daerah Tertinggal yang berasal dari PKB. DPP PKB tidak membenarkan penawaran kontrak seperti itu.

Kita tentu sangat menyayangkan ada politisasi dalam perekrutan tenaga pendamping untuk mengelola dana desa itu. Langkah parpol yang berusaha menyusupi pengelolaan dana desa itu tentu demi kepentingan politik dalam menghadapi pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2017 dan bahkan pemilihan umum (pemilu) 2019.

Publik khawatir jika tenaga pendamping dana desa disusupi parpol, mereka tidak fokus dalam melaksanakan tugas utama, yakni membimbing dan mengarahkan masyarakat desa dalam mengelola dana dari pemerintah. Tenaga pendamping yang disusupi kader partai malah beralih fungsi menjadi tenaga perekrut kader. Kita tidak ingin tenaga pendamping malah menjadi tim sukses parpol atau politisi saat pemilu atau pilkada nanti.

Untuk itu, kita mendorong agar pemerintah, mulai dari tingkat pusat hingga daerah, menerapkan prinsip transparansi dalam mengelola dana desa, termasuk dalam merekrut tenaga pendamping. Peran pengawasan harus ditingkatkan agar pengelolaan dana desa tidak diselewengkan. Kita ingin agar tim pengawas dari kementerian terkait benar-benar bekerja maksimal dalam mengawasi pengelolaan dana desa.

Bahkan, bila perlu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga terlibat dalam mengawasi penggunaan dana desa, termasuk mengawasi kemungkinan uang negara itu digunakan untuk kepentingan politik. Pengawasan dari KPK untuk mencegah agar dana desa disalurkan dengan tepat sasaran, sehingga tujuan untuk memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat desa bisa tercapai.


Kita juga berharap agar Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal memanfaatkan tenaga pendamping dari program PNPM Mandiri, yang terbukti sukses dalam menjalankan program itu. Dengan memanfaatkan tenaga PNPM Mandiri, pemerintah tidak perlu lagi membuang waktu, tenaga, dan biaya yang besar untuk merekrut tenaga pendamping dana desa. Selain itu, pemanfaatan tenaga yang sudah ada juga akan mengurangi kecurigaan publik tentang adanya politisasi dana desa

Author:

Terima kasih telah berkunjung ke blog ini jika kalian suka silahkan share. Artikel saya yang berjudul Politisasi Dana Desa. Jika anda ingin sebarluaskan artikel ini, atau meletakan artikel ini sebagai tulisan anda mohon sertakan sumber link asli.

Bagaimana Tanggapan Anda
Comments
0 Comments

0 Comments

Silahkan isi Komentar Anda disini