Selain
anggaran besar yang berpeluang untuk dikorupsi, perekrutan tenaga pendamping
dana desa juga harus diwaspadai karena sangat rawan dipolitisasi. Niat baik
pemerintah untuk mengucurkan dana desa untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat jangan sampai dikotori oleh kepentingan-kepentingan politik.
Pemerintah jangan sampai mengulang kesalahan masa lalu
ketika tenaga-tenaga penyuluh pertanian direkrut dari kader-kader partai
tertentu. Dengan cara seperti itu, tujuan untuk memperbaiki taraf hidup
masyarakat kelas bawah tidak bisa terwujud dan akhirnya hanya menguntungkan
kelompok atau partai politik, terutama partai yang kadernya menjadi menteri
terkait.
Sejak 2015, pemerintah telah mengucurkan dana desa dari
Anggaran Pendapa- tan dan Belanja Negara (APBN) yang dikucurkan untuk sekitar
81.000 desa. Dana yang dikucurkan terus meningkat. Anggaran yang dialokasikan
untuk dana desa pada 2015 sekitar Rp 20,8 triliun dan meningkat pada 2016
menjadi Rp 47,9 triliun.
Bahkan, direncanakan pada 2017 nanti anggarannya ditambah
menjadi Rp 81,2 triliun, pada 2018
menjadi Rp 103,8 triliun, dan pada 2019 menjadi Rp 111,8 triliun. Dengan
demikian, mulai 2017, setiap desa rata-rata menerima kucuran dana desa lebih
dari Rp 1 miliar dari APBN.
Alasan utama pemerintah mengeluarkan program dana desa
adalah untuk memberdayakan desa dan masyarakatnya agar lebih maju dan mandiri.
Hal ini sejalan dengan program Nawacita Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni
membangun dari pinggiran.
Polanya, dana disalurkan ke setiap desa dan dikelola oleh
masyarakat setempat untuk digunakan membiayai pembangunan sesuai kebutuhan
rakyat setempat. Artinya, setiap desa memiliki program-program yang berbeda
dalam menghabiskan daerah
persawahan, namun ada juga desa yang lebih memerlukan pembangunan sarana jalan
yang lebih baik.
Oleh karena
itu, strategi utama atau kunci sukses pengelolaan dana desa terletak pada
tenaga pendampingan. Mereka memiliki peran yang sangat penting untuk membantu
masyarakat desa dalam mengelola dana yang telah diberikan pemerintah pusat.
Sebelum ada
program dana desa, yang merupakan amanat dari Undang-Undang (UU) Nomor 6/2014
tentang Desa, ada program yang mirip, yakni Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program ini dianggap cukup sukses, karena peran para
tenaga pendamping.
Dengan
melihat besarnya anggaran untuk dana desa, yang setiap tahun ditambah, muncul
kekhawatiran publik bahwa anggaran itu rawan dikorupsi atau diselewengkan untuk
kepentingan politik. Apalagi, terkait perekrutan tenaga pendaping, telah muncul
isu politisasi dana desa tersebut.
Pada
Oktober tahun lalu, muncul berita tentang upaya politisasi dana desa itu oleh
oknum kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Sukabumi, Jawa Barat. Calon
pendamping dana desa diminta untuk menandatangani surat komitmen bahwa dia
bersedia menjadi kader PKB dan bersedia menjalankan atau membantu dalam
membesarkan partai.
Tidak hanya
itu. Calon tenaga pendamping desa itu juga diminta untuk bersedia memberikan
“komitmen” sebesar 10% dari nilai gaji yang dihasilkan sebagai pendamping
kecamatan setiap bulan selama menjadi pendamping. Jika nantinya ternyata
pernyataan itu dilanggar, tenaga pendamping itu bersedia diberhentikan dan
dikenakan sanksi.
Jajaran DPP
PKB telah menegaskan bahwa apa yang terjadi di Sukabumi itu merupakan ulah
oknum dengan memanfaatkan posisi Menteri Desa dan Daerah Tertinggal yang
berasal dari PKB. DPP PKB tidak membenarkan penawaran kontrak seperti itu.
Kita tentu
sangat menyayangkan ada politisasi dalam perekrutan tenaga pendamping untuk
mengelola dana desa itu. Langkah parpol yang berusaha menyusupi pengelolaan
dana desa itu tentu demi kepentingan politik dalam menghadapi pemilihan
kepala daerah (pilkada) serentak 2017 dan bahkan pemilihan umum (pemilu) 2019.
Publik
khawatir jika tenaga pendamping dana desa disusupi parpol, mereka tidak fokus
dalam melaksanakan tugas utama, yakni membimbing dan mengarahkan masyarakat
desa dalam mengelola dana dari pemerintah. Tenaga pendamping yang disusupi
kader partai malah beralih fungsi menjadi tenaga perekrut kader. Kita tidak
ingin tenaga pendamping malah menjadi tim sukses parpol atau politisi saat
pemilu atau pilkada nanti.
Untuk itu,
kita mendorong agar pemerintah, mulai dari tingkat pusat hingga daerah,
menerapkan prinsip transparansi dalam mengelola dana desa, termasuk dalam
merekrut tenaga pendamping. Peran pengawasan harus ditingkatkan agar
pengelolaan dana desa tidak diselewengkan. Kita ingin agar tim pengawas dari
kementerian terkait benar-benar bekerja maksimal dalam mengawasi pengelolaan
dana desa.
Bahkan,
bila perlu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga terlibat dalam mengawasi
penggunaan dana desa, termasuk mengawasi kemungkinan uang negara itu digunakan
untuk kepentingan politik. Pengawasan dari KPK untuk mencegah agar dana desa
disalurkan dengan tepat sasaran, sehingga tujuan untuk memberdayakan dan
menyejahterakan masyarakat desa bisa tercapai.
Kita juga
berharap agar Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal memanfaatkan tenaga
pendamping dari program PNPM Mandiri, yang terbukti sukses dalam menjalankan
program itu. Dengan memanfaatkan tenaga PNPM Mandiri, pemerintah tidak perlu
lagi membuang waktu, tenaga, dan biaya yang besar untuk merekrut tenaga
pendamping dana desa. Selain itu, pemanfaatan tenaga yang sudah ada juga akan
mengurangi kecurigaan publik tentang adanya politisasi dana desa