Syarat Pendamping Desa Cukup Lulusan SMP
Bagaimana Tanggapan Anda
#Desa Membangun
[JAKARTA] Pengelolaan Dana Desa dinilai rawan di- susupi
kepentingan partai politik, khususnya terkait perekrutan tenaga pendam- ping
yang sebenarnya meru- pakan salah satu kunci suk- ses program itu dalam rang-
ka mewujudkan desa yang maju dan mandiri. Saat ini, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
tengah membuka lowongan membuka lowongan perekrutan tenaga pendamping Dana
Desa, dan perekrutan itu rawan potensi penyusup an oleh kader partai politik.
Seperti dijelaskan oleh Anggota Komisi V DPR dari Fraksi Gerindra, Nizar
Zahro, secara mekanisme anggaran, dana desa diberi- kan pusat kepada daerah
melalui pemda. Awalnya, diinginkan agar dana itu langsung ditransfer ke desa,
tanpa perlu singgah di pem- da. Namun, karena kesiapan infrastruktur perbankan
yang masih kurang di pede- saan, diputuskan dana di- transfer melalui pemda.
Pada titik itu, kata Nizar, dana desa itu masih belum rawan
dipolitisasi. Titik ra- wannya adalah terkait tena- ga pendamping yang akan
dilakukan secara berjenjang dari tingkat II (kabupaten/ kota), hingga desa.
Rekrutmen dilaksanakan oleh Kementerian Desa.
“Di sinilah maksud kepentingan parpol tertentu bisa masuk.
Di mana rekrutmen itu di seluruh Indonesia, berpotensi digunakan untuk
kepentingan parpol terten- tu,” kata Nizar.
Apa indikasinya? KataNizar, dari beberapa informasi yang
mereka peroleh, salah satu syarat untuk bisa menjadi tenaga pendamping itu
adalah minimal berijazah SMP dan sederajat. Baginya, syarat itu sangat tidak
ma suk akal. Sebagai pembuat UU bersama pemerintah, DPR tentunya ingin pen-
damping desa itu berkuali- tas tinggi di atas para kepala desa, atau minimum
sarjana. “Harapannya tentu agar mereka bisa mendampingi desa sejak perencanaan
ang- garan, pelaksanaan, dan pengawasan anggaran sesu- ai ketentuan
UU. Anehnya, kenapa Kementerian mem- berikan syarat minimal ha- nya SMP? Apa
dasarnya? Apa ada jaminan nanti me reka bisa membuat program itu baik?” kata Nizar.
Padahal, kalau mau, Kementerian Desa bisa saja menggunakan
tenaga pen- damping Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
yang lebih teruji. Karena opsi lebih ma- suk akal demikian tak diam- bil, Nizar
mengatakan wajar bila keputusan Kementerian Desa dianggap agar membe- rikan
peluang terhadap ka- der parpol.
“Ini dicurigai demi memberi peluang kepada kader parpol
tertentu yang diduga berijazah tak lebih dari SMP supaya bisa ma- suk jadi
pendamping,” tegas Nizar.
Itu juga alasan sebenar- nya mengapa Komisi V DPR bertekad
membentuk Panja Dana Desa dan Pendamping
Dana Desa. Sebab dirasakan perlu me neliti alasan sebenarnya keputusan seperti
syarat pen-da m pi ng. “ Maka kami mengusulkan agar dibentuk Panja Dana Desa dan Pendamping Dana Desa
dalam rangka menelitinya,” ungkapnya.
Nizar mengingatkan pengalaman di masa lalu, di mana banyak tenaga penyuluh pertanian yang
ditengarai diisi kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu, menteri
pertanian memang berasal dari PKS.
“Saya pikir harus dihindari pola seperti itu. Oke semua
potensi dimasukkan. Tetapi yang masuk akal dong. Masa syarat minimal lulusan
SMP? Kita butuh 78.000 pendamping. Visi misi presiden kan menata desa sesuai
Nawa Cita. Kalau tak sukses, ini akan hancur lebur,” ujarnya. Nizar juga sepakat, un-tuk mencegah peluang ma-suknya
kepentingan parpol, kementerian yang menguasai dana besar seperti dana desa
sebaiknya tidak diserahkan ke kader parpol.
Diserahkan ke Daerah
Menurut Anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDI-P, Sukur
Nababan, kon-troversi terkait tenaga pen- damping desa sebenarnya tak perlu terjadi bila Pemerintah
bersedia memikirkan ulang pola pelaksa- naan dana desa itu sendiri. Agar desa
mampu mengalo- kasikan dana desa dengan benar dan akuntabel, tentu diperlukan
tenaga pendam- ping desa. Di sisi lain, sistem pemerintahan mengakui adanya otonomi daerah (otda) melalui sistem administrasi
pemerintahan dari pusat, provinsi, kabupaten/ kota, kecamatan, dan desa.
Dalam hal ini, Kementerian Dalam Negeri yang memiliki
infrastruktur hingga ke tingkat terbawah. “Yang jelas Kementerian Desa itu tak
punya infra- struktur sampai bawah. Nah, bagaimana dia memi- lih pendamping
bila kemen- terian tak punya infrastruktur sampai ke pelosok? Yang mengenal
itu kan kepala da- erah setempatnya?” kata Sukur.
Oleh karenanya, dia cen-derung perekrutan tenaga pendamping
diserahkan ke-pada bupati. “Artinya yang bertanggung jawab pelaksanaannya
adalah pemda, ter- masuk merekrut tenaga pen dampingnya. Nanti kalau bermasalah
dan tak berhasil, berarti bupatinya tak benar,” ujarnya.
Menurut Sukur, sungguh aneh bila dana ditransfer melalui
pemda, namun tugasnya hanya penyaluran dana. Sementara pelaksana- an dan
pengawasan dilaksanakan oleh pusat melalui Kementerian Desa. Padahal, yang mengetahui
daerah adalah sang kepala daerah sendiri.
“Menurut saya diserah- kan saja ke bupati di daerah. Kepala
daerah nanti yang akan memastikannya. Kalau sistem seperti sekarang ini,
bayangkan, bupati tak tahu siapa itu pelaksana dan pengawasnya. Lalu itu tanggung jawab siapa? Padahal dana ditransfer lewat mereka,” jelasnya.
Jika pola itu dijalankan, kecurigaan bahwa parpol akan
mengintervensi mela- lui kepala daerah juga tereli- minasi dengan sendirinya.
Sebab seorang kepala dae- rah saat ini dipilih oleh pub- lik. Artinya, ketika
terpilih, seorang bupati otomatis menjadi milik publik dan akan berjuang
mati-matian untuk memastikan pilihan rakyat kepadanya tak salah. Dengan itu,
sang bupati akan berjuang memastikan keberhasilan program itu.
“Bagi saya, sistem harus diperbaiki. Harus jelas siapa yang
bertanggung jawab di desa. Kalau bupati tak diberi tanggung jawab
untuk mengawasi, ya bupati tak bisa kita mintai pertang- gungjawaban
dana yang le- wat dari rekening mereka,” jelas Sukur. [MJS/A-17]